Detail

Blog Image

SIKLUS KDRT YANG WAJIB DIWASPADAI

dr Yuniar, SpKJ (K), M.MRS

Rumah seyogyanya menjadi tempat yang paling aman bagi seluruh penghuninya, termasuk perempuan dan anak-anak. Namun banyak penelitian mengungkapkan adanya paradoks bahwa perempuan lebih banyak mengalami kekerasan dari pasangannya di rumah dari pada orang lain di luar rumah (Garcia-Moreno et al., 2005; Gulati & Kelly, 2020; Puspita Dewi & Hartini, 2017). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization pada tahun 2013 menunjukkan bahwa satu di antara tiga perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan yang berkaitan dengan gendernya, dan mayoritas kekerasan tersebut dilakukan oleh pasangan dalam rumah tangganya (Falk et al., 2017).

Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, mendefinisikan KDRT sebagai “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (Puspita Dewi & Hartini, 2017). Walaupun fenomena ini terjadi secara luas di seluruh permukaan bumi, namun definisinya berbeda dari satu negara ke negara lain, sebagaimana digambarkan dalam WHO Multi-country Study on Women’s Health And Domestic Violence Against Women (2005), sehingga menimbulkan kesulitan dalam menentukan prevalensinya secara internasional.

Mengapa KDRT terhadap perempuan patut dipandang sebagai salah satu prioritas dalam masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara? Tak lain adalah karena banyaknya akibat yang dapat ditimbulkannya, baik kepada perempuan itu sendiri maupun kepada anggota keluarga lain yang menyaksikannya. Perempuan penyintas KDRT bisa membawa kecacatan fisik dan mental akibat berbagai kekerasan yang dialaminya. Tak jarang pula KDRT ini berujung pada kematian penyintas, baik akibat tindak kekerasan yang terjadi, maupun karena bunuh diri (Bouillon-Minois et al., 2020). Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga di mana KDRT sering terjadi, dapat menjadi penyalahguna zat adiktif, pengidap gangguan orientasi seksual, penyandang gangguan kepribadian, serta berbagai masalah kesehatan mental yang lain.

Dinamika yang melatarbelakangi terjadinya KDRT dijelaskan sebagai suatu siklus yang dikenal sebagai Cycle of Violence oleh Lenore Walker pada tahun 1979 (Sofia Hardani et al., 2010). Ada tiga fase dalam siklus ini, yaitu (1) fase ketegangan, (2) fase akut/ penganiayaan akut, dan (3) fase bulan madu semu.

  1. Pada Fase Ketegangan, pelaku biasanya mulai dengan melakukan ancaman-ancaman. Lalu selanjutnya muncul kekerasan-kekerasan lisan seperti berteriak, mengumpat, dan memaki, atau kekerasan fisik ringan seperti mendorong penyintas hingga hampir terjatuh. Pada kondisi ini biasanya penyintas berusaha menenangkan pelaku. Sayangnya acapkali upaya ini tak berhasil, sehingga penyintas menarik diri untuk menjauhi kemungkinan kekerasan lebih lanjut. Situasi ini makin membuat pelaku merasa lebih superior sehinga akhirnya terjadilah fase kedua.
  2. Pada Fase Akut terjadilah kekerasan yang merupakan ledakan dari ketegangan-ketegangan yang sebelumnya tertahan. Dalam konteks ini pelaku biasanya menyatakan memiliki tujuan untuk memberikan pelajaran kepada penyintas, namun selanjutnya kehilangan kendali. Ada berbagai jenis kekerasan yang dapat terjadi dalam fase ini; meliputi kekerasan fisik seperti pukulan, tendangan, tusukan, tembakan, cekikan, kekerasan seksual dan sebagainya;  serta kekerasan emosional seperti penghinaan yang sangat kasar atau umpatan memalukan yang sangat nyaring sehingga dapat didengar orang lain. Pada Sebagian besar kasus, setelah Fase Akut ini mereda, pelaku meminta maaf dan menyatakan penyesalan kepada penyintas, serta berjanji tak akan mengulangi lagi perbuatannya.
  3. Dalam Fase Bulan Madu Semu ini, biasanya penyintas luluh, mempercayai janji-janji tersebut, dan memutuskan untuk memaafkan pelaku, sehingga situasi tampak tenang. Pada hampir semua kasus, ketenangan yang terjadi tersebut bersifat semu belaka.

Dalam perjalanannya, ketika kemudian muncul ketegangan-ketegangan kecil yang tak terselesaikan dalam rumah tangga, siklus ini dapat terulang kembali. Jeda antar siklus dapat saja menjadi semakin pendek, intensitas kekerasan yang terjadipun dapat terus meningkat, hingga akhirnya terjadi masalah-masalah fisik dan mental yang tak dapat tertahankan, baik pada penyintas, maupun pada orang-orang yang menyaksikannya.

Lalu apa yang membuat perempuan berkali-kali memaafkan pelaku dan tetap bertahan dalam relasi yang toxic tersebut? Ganley (2008) menyatakan  bahwa ada beberapa faktor yang membuat penyintas bertahan dalam KDRT, antara lain adanya perasaan takut kepada pelaku, bertahan agar tetap bersama anak, adanya faktor budaya dan agama untuk mempertahankan rumah tangga, serta adanya harapan dan keyakinan pelaku akan berubah.

KDRT menjadi sebuah siklus yang harus diputus perputarannya. Bila Anda menjadi korban KDRT jangan tunggu hingga perbuatan tersebut menjadi siklus berulang, segera ambil tindakan tegas karena KDRT tidak hanya membahyakan secara fisik tapi juga mengancam kesehatan mental. Psikiater dan Psikolog RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang siap memberikan pendampingan bagi Anda.

Referensi:

 Bouillon-Minois, J. B., Clinchamps, M., & Dutheil, F. (2020). Coronavirus and Quarantine: Catalysts of Domestic Violence. Violence Against Women, 1–3. https://doi.org/10.1177/1077801220935194

Falk, M., Sevett, A., & Bloem, L. W. (2017). Prospects for a New Global Convention on the Elimination of Violence against Women.

Garcia-Moreno, C., Jansen, H. a F. M., Ellsberg, M., Heise, L., & Watts, C. H. (2005). WHO Multi-country Study on Women ’ s Health and Domestic Initial results on prevalence. Who, 151(1), 277–283. http://www.cabdirect.org/abstracts/20063002089.html

Gulati, G., & Kelly, B. D. (2020). Domestic violence against women and the COVID-19 pandemic: What is the role of psychiatry? International Journal of Law and Psychiatry, 71(April), 101594. https://doi.org/10.1016/j.ijlp.2020.101594

Puspita Dewi, I. D. A. D., & Hartini, N. (2017). Dinamika Forgiveness pada Istri yang Mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). INSAN Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 2(1), 51. https://doi.org/10.20473/jpkm.v2i12017.51-62

Sofia Hardani, Wilaela, Nurhasanah Bakhtiar, & Hertina. (2010). Perempuan Dalam Lingkaran KDRT (S. Hardani & Wilaela (eds.)). Pusat Studi Wanita UIN SUltan Syarif Kasim.

Kategori

Terkini

Tags

Testimonials